Jumat, 20 Juni 2014

Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah kami bersyukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tidak lupa kami panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, dan para sahabatnya.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM. Dalam penyusunan makalah ini, banyak masalah yang kami hadapi dalam mengerjakan makalah ini kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan hasil yang terbaik. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan dan penulisan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.



 Medan, Mei 2014
Penulis





BAB I
PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN

Dalam penyelenggaraan pendidikan di Hindia Belanda, kepentingan politik senantiasa menjadi bahan pertimbangan. Sistem pendidikan, harus diselenggarakan dengan tujuan ingin dicapai oleh Kolonial Belanda, dalam kedudukannya sebagai penguasa politik di wilayah jajahan.
Pengadaan Departemen Pendidikan, Agama, dan Pemerintahan, dalam jajaran pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, memberi gambaran secara resmi akan adanya tugas dan tanggung jawab moral pemerintahan (kolonial) bagi pembinaan pendidikan rakyat di wilayah kekuasaanya. Atau setidak-tidaknya secara politik, keberadaan Departemen tersebut dapat sebagai memberi kesan kepada dunia Internasional, bahwa Belanda berkeinginan keras untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat pribumi melalui pendidikan.
Setelah belanda ditaklukan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari Indonesia. Semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di Indonesia.
Jepang muncul sebagai negera kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita besar menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Sejak tahun 1940 Jepang berencana untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Dalam rencana tersebut Jepang menginginkan menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah mansyuria, Daratan Cina, Kepulauan Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ?
b. Bagaimana Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang ?

C. TUJUAN
a. Mengetahui pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda
b. Mengetahui pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang.



BAB II
PEMBAHASAN

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

A. Sistem Pendidikan Kolonial Belanda

Sebelum kita membicarakan sistem pendidikan Islam ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu sistem pendidikan kolonial Belanda di Indonesia dan kaitannya dengan kepentingan penjajahan.
Ekonomi dan penjajahan, menjadi unsir penting yang senantiasa dikaitkan dengan sistem pendidikan Belada. Dalam hubungannya dengan kepentingan itu, maka para penyusun konsep pendidikan, agaknya tak dapat melepaskan diri dari kondisi sosial ekonomi dan politik pemerintahan pusat Nederland, dan kaitannya dengan kepentingan politik Hindia Belanda. Dengan demikian setiap kenijakan yang dijalankan di bidang pendidikan cenderung berkaitan dengan kepentingan politik kolonial Belanda di Indonesia.

1. Dasar dan Tujuan Pendidikan kolonial Belanda
Semenjak abad ke 20, arah etis (Etische Koers) dijadikan landasan idiil dalam sistem pendidikan di Hindia Belanda. Sejalan dengan pokok pikiran yang terkandung didalamnya, maka disusun pulalah dasar pikiran yang bertumpu atas dua pokok pikiran, yaitu :
1) Pendidikan dan pengetahuan Barat ditetapkan sebanyak mungkin bagi golongan Bumiputera
2) Pemberian pendidikan rendah kepada golongan Bumiputera, disesuaikan dengan tenaga kerja murah.
Hal ini memberi kesan adanya peluang bagi kemungkinan terjadi penyimpangan pelaksanaan pendidikan dari tujuan yang termuat dalam politik etis. Para pelaksana pendidikan sendiri terkadang cenderung menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan moral itu sendiri. Dan adanya penjenisan sekolah yang menerima murid berdasarkan latar belakang status sosialnya merupakan bagian dari penyimpangan itu.

2. Ciri-ciri Umum Pendidikan Kolonial Belanda

S. Nasution mengklasifikasikan ciri umum pendidikan kolonial Belanda menjadi enam ciri, yaitu :
1) Gradulisme
2) Dualisme
3) Pengawasan pusat yang ketat
4) Pendidikan pegawai lebih diutamakan
5) Konkordansi
6) Tidak ada perencana yang sistematis bagi pendidikan pribumi

Sedangkan menurut Ki Suratman, ada tiga ciri pokok, yaitu :
1) Pendidikan bersifat heterogen (beragam)
2) Pendidikan bersifat Deskriminatif
3) Pendidikan Cenderung intelektualistik.

Pendapat-pendapat di atas menggambarkan bagaimana pandangan tokoh-tokoh pribumi sebagai bangsa terjajah. Sebaliknya, sebagai penjajah pemerintah kolonial Belanda bagaimanapun harus berupaya menanamkan kekuasaan politik yang dapat mencerminkan dirinya sebagai penguasa di wilayah jajahannya. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud mereka menggunakan berbagai jalur yang memungkinkan. Dan diduga, jalur pendidikan mereka nilai sebagai jalur yang paling efektif.
Sejalan dengan kepentingan politik kolonialnya itu, maka sistem pendidikan di Hindia Belanda harus disusun berdasarkan kepentingn Belanda sebagai penjajah. Paling tidak, dalam pandangan mereka sistem pendidikan harus memberi gambaran adanya unsur pembeda antara pendidikan kolonial dengan pendidikan pribumi. Selain itu adanta keterikatan antara sistem pendidikan Hindia Belanda dengan sistem pendidikan Nederland, menurut mereka perlu diperjelas dan adanya prinsip konkordasi merupakan cerminan keingin tersebut.

Kemudian untuk membedakan antara status mereka sebagai penjajah dengan penduduk pribumi, mereka memasukkan unsur diskriminasi dalam sistem pendidikan sedangkan tujuan jangka panjang dalam menjaga kemantapan politik penjajahan, mereka mengusahakan agar di sekolah-sekolah tidak menerapkan pendidikan agama. Sekolah yang netral agama menurut pandangan pemerintahan paling tidak mempunyai tujuan ganda. Pertama, untuk menghindari anggapan bahwa penguasa (Kristen) pemerintah tidak memihak kepentingan Missie dan Zending, atau tidak berkeinginan mengembangkan agama Kristen melalui sekolah. Kedua, secara berangsur-angsur dan terarah menjauhkan rakyat pribumi dan keterkaitan dengan ajaran mereka (Islam) melalui sekolah-sekolah pemerintah yang netral agama.

Hubungan antara sistem pendidikan dan kepentingan politik itu, diperkirakan tetap dipedomani oleh para penguasa kolonial di Hindia Belanda selama penjajahan mereka, dan kalaupun terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaannya, barangkali hal itu disebabkan oleh pengaruh kondisi tertentu. Yang jelas perubahan tersebut bukan disebabkan oleh perubahan sistem pendidikan dalam arti lepas dari keterkaitannya dengan kepentingan politik.

3. Pelaksanaan Pendidikan Kolonial Belanda

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah di Hindia Belanda, pada dasarnya merupakan cerminan dari sistem pendidikan kolonial Belanda. Tujuan, ciri-ciri umum dan bentuk kelembagaan yang diterapkan di sekolah-sekolah tersebut, adalah merupakan realisasi dari sistem pendidikan yang mereka programkan.

Di Jakarta, sekolah pertama yang didirikan pada tahun 1617, tahun 1636 sudah menjadi 3 sekolah. Tujuan sekolah ini didirikan untuk mencetak tenaga kerja yang kompoten pada VOC. Pendirian sekolah-sekolah di kota-kota lain juga berlangsung, terbatas di kota-kota pelabuhan, atau benteng-benteng yang dijadikan basis VOC.

Ketika Van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta tahun 1831, ia mengeluarkan kebijaksanaan bahwa sekolah gereja dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah Belanda. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Disetiap daerah Keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.

Van den Capellen tahun 1819 merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati berisi: “Dianggap penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka dapat mentaati undang-undang dan hukum negara.” Dari surat edaran diketahui bahwa belanda menganggap pendidikan agama Islam yang diselenggarakan dipondok-pondok pesantren, masjid, mushalla, dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri dianggap bura huruf latin. Jelasnya madrasah dan pesantren dianggap tidak berguna dan tingkatannya rendah, sehingga disebut sekolah desa. Oleh sebab itu, Belanda mendirikan sekolah-sekolah dasar di tiap Kabupaten dimaksudkan untuk menandingi dan menyaingi madrasah, pesantren, dan pengajian di desa itu.

Kemunduran pendidikan islam itu sampai puncaknya sebelum tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia. Bahkan pada tahun 1882 Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat, bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu disebabkan tumbuhnya organisasi pendidikan islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdathul Wathan, dan lain-lain. Tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah muncul gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 berupa Sumpah Pemuda. Selain itu sekolah kristen yang banyak mendapat kritikan dari rakyat sekitar, juga untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama islam, maka pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut “Netral Agama.”

Jika melihat peraturan-peraturan Belanda yang demikian ketat mengawasi dan menekan aktivis madrasah dan pesantren di Indonesia, seolah-olah pendidikan islam akan lumpuh. Akan tetapi apa yang kita saksikan adalah sebaliknya.

Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis, yaitu mendirikan pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak pendidikan pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, juga untuk menghambat pendidikan tradisional. Belanda juga tidak mau mengakui lulusan-lulusan pendidikan tradisonal kerena mereka dianggap tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat. Di luar dugaan, berdirinya sekolah-sekolah Belanda justru menjadikan mereka mengenal sistem pendidikan modren: sistem kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan umum. Mereka juga menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk mengikuti perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi pendorong untuk mengadakan pembaruan, di antaranya bidang agama dan pendidikan. Maka, lahirlah gerakan pembaruan pendidikan Islam.

Adanya kaitan antara politik dan pendidikan, agaknya ikut menjadikan sistem pendidikan kolonial Belanda menjadi rumit. Keinginan untuk menerapkan prinsip deskriminasi, menyebabkan penjenisan sekolah menjadi banyak. Sebagai gambaran tentang sistem persekolahan itu, secara garis besarnya dapat dikemukakan sebagai berikut. Jenis-jenis sekolah terdiri atas :

a. Pendidikan rendah (Lager Onderwijs), dibagi menjadi
1) Sekolah rendah berbahasa pengantar bahasa Belanda, yang terdiri atas :
a) Sekolah rendah Eropa (Eropeesche Lager School)
b) Sekolah Bumiputera kelas satu, terdiri atas :
1. Sekolah Cina Belanda (Hollandche Chinese School)
2. Sekolah Bumiputera Belanda (Hollandche Inlandche School)
2) Sekolah rendah berbahasa pengantar bahasa daerah, yang dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Sekolah Bumiputera kelas dua (Inlandche School Tweeds Klasse)
b) Sekolah Desa (Volkschool)
c) Sekolah peralihan (Vervolschool)
3) Sekolah peralihan (Schakel School), sebagai sekolah peralihan dari Sekolah Desa ke Sekolah Dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda.

b. Pendidikan menengah (Middlebaar Onderwijs) terdiri atas :
a) Sekolah menengah umum, yaitu
1. MULO (Meer Uitgereid Lager Onderwijs)
2. AMS (Algemenee Middlebaar School)

c. Pendidikan tinggi, terdiri dari tiga jurusan, yaitu :
a) Sekolah Tinggi Kedokteran
b) Sekolah Tinggi Hukum
c) Sekolah Tinggi Tehnik

Penjenisan sekolah di atas menunjukkan kenyataan akan adanya sikap deskriminatif dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal itu terlihat pada :Pertama, adanya penjenisan sekolah yang dikaitkan dengan status sosial, berdasarkan keturunan. Kedua, masyarakat pribumi kurang diberi kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Pada pendidikan rendah, jenis sekolah lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Dan keadaan yang seperti itu tampaknya memang sudah diprogramkan, sehingga kesempatan masyarakat pribumi untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah menengah dan sekolah tinggi dibatasi. Selain itu, dalam usaha untuk menghambat kesempatan belajar itu, maka pemerintah memberlakukan pula persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga dari beberapa segi diduga memberatkan bagi murid-murid golongan pribumi. Barangkali data lulusan murid-murid tahun 1940 dapat memperkuat keabsahan itu. Dari 21.255 sekolah dasar dengan jumlah murid 88.233 orang, ternyata lulus 7.790 orang, yaitu sekitar 8,5% saja.

Lebih jauh tindakan deskriminatif dalam bidang pendidikan juga diterapkan dengan membedakan sekolah-sekolah menjadi sekolah untuk orang Eropa, Cina dan Bumiputera. Dengan demikian, dari berbagai segi, kesempatan belajar bagi pendidik pribumi di sekolah-sekolah pemerintah senantiasa mendapat hambatan.
Kondisi demikian terjadi juga di Timur Tengah ditandai dengan munculnya ide Pan Islamisme yang dirintis oleh Jamaluddinnal-Afghani di Mesir dan gerakan Salafiyah Wahhabiyah di Hijaz. Oleh karena itu, santri-santri indonesia banyak yang belajar ke Hijaz dan Mesir. Mereka bermukim di Makkah menuntut ilmu bertahun-tahun. Pada waktu itu di Makkah ada alim ‘ulama (guru besar) dari Indonesia seperti Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, imam Mahzab Syafi’i di mesjid al-Haram, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Arsyad al-Banjari, dan lain-lain. Ketika mereka kembali ke tanah air mereka mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab yang lebih tinggi metunya dari masa sebelumnya. Dengan demikian, berkat usaha mereka ilmu agama semakin tinggi (luas). Pada masa perubahan itu boleh dikatakan pelajaran agama di indonesia hampir sama dengan di Makkah. Perbedaan yang nyata dalam masa perubahan itu (antara tahun 1900-1908) adalah pelajaran ilmu sharaf, nahwu, fiqih dan tafsir yang dahulu hanya mempelajari satu macam kitab, sekarang dipelajari bermacam-macam kitab.

Susunan pendidikan islam pada masa perubahan adalah:
1) Pengajian Alquran masih sama seperti sebelum tahun 1900
2) Pengajian kitab terdiri dari
a) Mengaji nahwu dengan memakai kitab Ajrumiyah Asymawi, Syaikh Kholid, Azhari, Alfiyah, Asymuni, dan lain-lain.
b) Sharaf: Al-kailani,Taftazani.
c) Fiqih: Fath al-Qarib, Fath al-Muin, Fath al-Wahab Mahalli, kadang-kadang sampai Tuhfs dan Nihayah.

Pada masa perubahan ini kitab yang dipakai semuanya dicetak. Kitab yang ditulis tangan tidak dipakai lagi. Pada mulanya kitab-kitab itu dicetak di Makkah dan Singapura, kemudian kitab-kitab itu dipesan ke Mesir. Selain kitab-kitab, ada juga majalah dari Mesir seperti Al-Manar.

Masa perubahan di Jawa sejak tahun 1900 dimulai oleh K.H. Hasyim Asyari membuka Pesantren Tebuireng di Jombang yang mengajar mulai tingkat rendah sampai tingkat tinggi yang meluluskan banyak ulama.
1) Madrasah Ibtidaiyah enam tahun, mata pelajarannya 70 persen agama dan 30 persen umum.
2) Tsanawiyah tiga tahun, untuk pelajarannya 70 persen agama dan 30 persen umum.
3) Mu’alimin lima tahun.
4) Bagian pesantren menurut sistem yang dilakukan oleh almarhum K.H. Hasyim Asy’ari.

B. SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam disebut juga dengan pendidikan Bumiputera, karena yang memasuki pendidikan Islam seluruhnya orang pribumi Indonesia. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam, yaitu :

1. Sistem Pendidikan Peralihan Hindu Islam
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Pada garis besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, yaitu :

a. Sistem pendidikan keraton, dilaksanakan dengan cara guru mendatangi murid-muridnya. Yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton.
b. Sistem pendidika pertapa, para murid mendatangi guru ke tempat pertapaannya. Adapun murid-muridnya tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.

2. Sistem Pendidikan Surau
a. Asal Usul Surau
Surau merupakan istilah yang banyak digunakan di Asia Tenggara, seperti Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa kata Surau berarti “Tempat” atau “Tempat penyembahan”. Penurut pengertian asalnya, Surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyembah arwah nenek moyang. Babarapa ahli mengatakan bahwa Surau berasal dari india yang merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pengajaran dan pendidikan Hindu-Budha. Di Minangkabau ketika Adityawarman (1356) yang beragam Budha mendirikan biara di Bukit Gombak Batusangkar. Disamping tempat peribadatan juga sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk mempelajari pengetahuan suci dan tempat pemecahan masalah-masalah sosial.
Seiring kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam dengan menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan Surau. Di Surau ini anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan pengajarannya.

b. Perkembangan Surau
Menurut sejarawan bahwa memang cikal bakal Surau tumbuh dan berkembang dalam tradisi keagamaan dan pendidikan Islam di Minangkabau pertamakali diawali oleh Syekh Burhanuddin (1026-1111 H/1646-1691 M) di Ulakan Pariaman. Setelah beliau kembai menuntut ilmu dari Aceh pada Syekh Abdul Rauf Singkel maka beliau mengembangkan dan mengajarkan agama Islam. Dari segi pendidikan, lembaga Surau Syekh Burhanuddin ini tidak terlihat dengan jelas kualifikasi dan karakteristiknya sebagimana lengkapnya sebuah lembaga pendidikan Islam, seperti adanya metode, kitab-kitab yang dijadikan seumber pembelajaran, struktur dan jenjang pendidikan, jangka waktu pendidikan, yang dapat di duga bahwa di Surau ini berlangsung pengajaran dan pengenalan hukum syari’at dan cara-cara membaca Al-Qur’an. Dari segi keagamaan dapat dipastikan bahwa Surau ini menjadi tempat semua kegiatan-kegiatan keagamaan selain tempat penyelenggaraan shalat Jum’at. Sebenarnya sangat sulit untuk membedakan lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan yang dimiliki Surau pada umumnya, apalagi bila menjadi ukuran Surau Syekh Burhanuddin yang timbul pada paroh abad ke-17, karena informasi yang banyak tentang Surau ini dan Surau-surau pada umumnya disaat itu hanya menyangkut tentang tarikat dengan berbagai ordonya, disamping pengenalan hukum syari’at (fiqh). Hukum-hukum syari’t yang dikembangkan di Surau adalah dasar-dasar ke Islaman (rukun Islam), rukun iman dan sejumlah amalan-amalan. Pada tahap berikutnya hukum mengenai hubungan manusia seperti hukum waris, perkawinan dan seterusnya. Informasi ini belum cukup untuk mengenali suatu sistem pendidikan sebagaimana sebuah “Perguruan agama”.

Perbedaan ini dianggap penting, karena Surau dalam perkembangannya mempunyai pengertian pada tiga sudut pandang yaitu keagamaan, pendidikan dan sosiokulturl. Pengertian keagamaan lebih mengarah pada “masjid kecil” yang digunakan untuk tempat mengaji Al-Qur’an, mempelajari dasar-dasar pengetahuan agama Islam, melaksanakan ibadah ritual selain shalat jum’at, peringatan hari-hari besar agama Islam dan tempat mengajarkan tarikat atau suluk bagi prang-orang dewasa. Surau dalam pengertian ini juga mengandung pengertian sebagai lembaga pendidikan non-formal dan sekaligus juga mengandung pengertian sosio-kultural yang berfungsi sebagai tempat tidur dan tempat bermusyawarah sebagaimana terdapat dalam tradisi adat Minangkabau. Sistem pendidikan pada Surau lebih dapat disamakan dengan Sistem Pendidikan pada pesantren di pulau Jawa sebagaimana Surau Syekh Abdurrahman (1777-1899 M) di Batu Hampar Payakumbuh, yang mempunyai komponen-komponen yang lengkap dalam sistemnya dan dapat disebut sebagai sistem pendidikan formal sesuai dengan masa itu. Hal ini dapat dilihat dari aspek komponen-komponen sistemnya seperti adanya materi ajar, bangunan induk, tempat tinggal (asrama), dan usaha-usaha dibidang ekonomi.

Surau Syekh Burhanuddin menjadi pusat kegiatan yang mempunyai otoritas dalam mengembangkan ajaran Islam di masa awal, masuknya Islam ke dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau yang masih menganut berbagai tradisi lokal. Kehadiran Surau ini secara perlahan-lahan memperlihatkan indikator keberhasilannya pada setiap tahapan perkembangannya di seluruh wilayah Minangkabau. Hal ini terlihat dari aspek-aspeknya yaitu :
1. Pada masa awal, banyaknya murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau ke Surau Syekh Burhanuddin untuk mendalami ajaran Islam.
2. Semakin banyak muncul Surau didaeah ini, yang didirikan oleh “alumni” murid-murid Surau Syekh Burhanuddin.
3. Lahirnya tokoh ulama besar dan berwibawa dalam mengembangkan dan mengajarkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga indikator keberhasilan ini menjadi arah terhadap perkembangan Surau pada masa berikutnya sebagai lembaga yang hidup dan dapat serta dibutuhkan oleh masyarakat. Arah ini didasarkan pada bagaimana Syekh Burhanuddin melakukan dakwah dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi-tradisi lokalnya. Hal ini merupakan salah satu bagian penting yang dapat menjelaskan misi dakwah Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan ajaran Islam yang mengambil tempat surau sebagai gerakan tarekat dan syari’at.

c. Sistem Pendidikan pada Surau
Dalam lembaga pendidikan Surau tidak mengenal birokrasi formal, sebagaimana dijumpai ada lembaga pendidikan modern. Aturan yang ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat. Secara kesat mata dapat dilihat di lembaga pendidikan Surau tercipta kebebasan, jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak mendapatkan hukuman tapi sekedar nasehat. Lembaga Surau lebih merupakan suatu proses belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural dari pada hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan saja. Jadi, nampak jelas fungsi learning society di Surau sangat menonjol.

Sistem pendidikan di Surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkat keilmuannya, proses belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urak Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. Dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis yang ada hanya kitab kuning merupakan sumber utamanya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembelajaran di Surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. Materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada Urang Siak dilaksanakan sambil duduk dilantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting di sisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilah Halaqah.


Mahmud Yunus membagi susunan pendidikan Islam di Surau kepada dua kelompok, yaitu :
a. Pengajian Al-Qur’an, lama belajarnya ada yang 2,3 atau 4 tahun. Pelajaran yang diberikan kepada seorang demi seorang, pelajarannya meliputi :
1) Huruf Hijaiyah dan membaca al-Qur’an
2) Ibadah (praktek/prukunan)
3) Keimanan (sifat dua puluh)
4) Akhlak dengan memakai metode kisah

b. Pengajian kitab, lamanya juga tidak ditentukan, ada yang sampai 15 tahun. Materi pembelajarannya meliputi :
1) Ilmu Sharaf
2) Ilmu Nahwu
3) Ilmu Fiqh
4) Ilmu Tafsir dan lainnya.

Cara mengajar pada kajian kitab meliputi :
1) Untuk tingkat rendah, yaitu mengajarkan kitab-kitab kepada murid. Dengan cara ini murid yang cerdas dan rajin akan menyelesaikan kajiannya lebih cepat.
2) Untuk tingkat tinggi, sistemnya halaqah. Sistem pengajaran ini semacam diskusi, murid-murid duduk melingkar sambil memegang kitab yang dipelajari dengan menyimak, guru juga duduk ditengah-tengah mereka sambil membaca dan menjelaskan kitab yang dikaji. Tingkat kealiman murid tidak hanya ditentukan jumlah kitab yang ditamatkan, tapi juga ditentukan sejauh mana ia menjadi guru bantu dengan mengajarkan apa yang dimiliki “yuniornya”.

Di Surau, mata pelajaran yang diberikan pada umumnya diawali dengan membaca al-Qur’an dengan sedikit penekanan pada halaman, tetapi lebih difokuskan pada intonasi dan ejaan yang benar, bunyi huruf Arabnya. Disamping itu murid diberikan pula materi tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Namun, untuk menguasai semua ilmu-ilmu yang diberikan itu terlebih dahulu murid harus mempelajari bahasa Arab khususnya Gramatikalnya. Seorang murid baru bisa mempelajari ilmu fiqh dan ilmu agama lainnya sesuah murid itu menguasai betul mata pelajaran bahasa Arab.

Di samping ilmu-ilmu pokok tersebut, Surau sebagai lembaga pendidikan Islam banyak mengambil spesialisasi, diantaranya, Surau Kamang spesialisasinya ilmu alat, Surau Kota Gadang spesialisasi dalam ilmu mantiq dan ma’ani, Surau Sumanik dalam studi Hadits, Tafsir dan Faraid, Surau Koto Tuo dikenal dengan studi tafsirnya, Surau Syekh Abdurrahman di Batu Hampar yang memiliki ciri pembelajaran hafidz dan Qira’at al Qur’an. Disamping itu kebanyakan Surau-Surau mengajarkan ilmu tarekat.
Diantara kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam belajar di Surau adalah Daqaiq al-huruf, Umdat al-Muhtajin ila suluk Maslah al-Mufradain, Majmu’ al-Masail, al-Mawaiz al-Baidah, Risalat fi Bayan Syurut al Syaikh wa al Murid. Disamping itu kitab Ihya’ Ulum al-Din karangan Imam Al Ghazali yang telah disadur dengan judul Saur Salikin oleh Abdul Samad al-Jawi al-Palimbani juga menjadi primadona di Surau-Surau.

3.` Sistem Pendidikan Pesantren
1) Asal Usul Pesantren
Secara garis besarnya, dijumpai dua macam pendapat yang mengutamakan tentang pandangannya tentang asal usul pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama pesantren adalah institusi pendidikan Islam, yang memang berasal dari tradisi Islam. Mereka berkesimpulan, bahwa pesantren lahir dari pola kehidupan tasawuf, yang kemudian berkembang di wilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan sebutan Zawiyat.
Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses Islamisasi. Mereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata shastri dari bahasa Sanskerta.
Terjadinya pembedaan diatas disebabkan adanya tinjauan yang berbeda, Pendapat pertama menekankan pada faktor latar belakang sejarah, sedangkan pendapat kedua, cenderung mengarahkan tinjauannya kepada asal usul kata. Meskipun demikian, kedua pendapat itu tidak memuat bantahan, bahwa pesantren sudah ada di Nusantara, sebelum Eropa datang ke wilayah Nusantara sekitar abad XVI.
Yang jelas pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah perkembangannya. Peneliti sejarah berpendapat, bahwa abad ke-15 pesantren pertama sudah berdiri di Jawa Timur, atas inisiatif para wali penganjur Islam. Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai pendiri pondor pesantren pertama di Indonesia. Sedangkan Raden Rahmat, yang dikenal sebagai Sunan Ampel dianggap sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur.

2) Eksistensi pesantren

Mahmud Yunus menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengorganissasikan pesantren di Jawa, adalah Raden Fatah, tahun 1476. Usaha tersebut merupakan lanjutan dari aktivitas gurunya, yaitu Sunan Ampel.
Dalam pengembangan selanjutnya, pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam ini disatukan dengan kegiatan dan tugas-tugas dakwah. Peranan ganda ini kemudian menjadi potensi yang ikut berpengaruh dalam kegiatan politik pendidikan. Di zaman kerajaan Islam, pondok pesantren ikut dalam menentukan watak ke Islaman, dan menjelang tahun 1900, ideology politik keagamaan yang bercorak menantang kekuasaan kolonial Belanda terbentuk di institusi pendidikan ini. Dengan demikian peran pesanten dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa sudah terlaksana selama tiga setengah abad di Indonesia.
Pesantren dalam kenyataan sangat dekat dengan masyarakat lingkungannya. Sejak mulanya pesantren pada umumnya ditentukan oleh pribadi pendirinya sehingga ada diantaranya yang tidak di sentuh oleh peraturan-peraturan pemerintah. Sektor pendidikan keagamaan menjadi wewenang penuh pendiri dan pengasuhnya. Memang kelihatannya para Kyai mempunyai Kharisma tersendiri terhadap santri-santrinya dan masyarakat lingkungannya. Ketokohan seorang Kyai muncul dari pengakuan para pengikutnya semenjak Kyai menjalankan fungsi kepemimpinannya.
Komunikasi timbal balik antara Kyai dengan para murid dan pengikutnya terlihat ketika ia menjalankan fungsi kesehariannya dilingkungan masyarakat sewaktu :
1) Memimpin upacara do’a dan ibadah
2) Mengajar ilmu-ilmu agama
3) Memberikan fatwa-fatwa hukum agama
4) Memberikan penerangan dan tabligh agama

Dalam pelaksanaan tugas keseharian, Kyai menjadikan pesantrennya sebagai pusat kegiatan keagamaan. Dalam kenyataannya, keterikatan para murid dan pengikut Kyai tidak hanya ditunjukkan oleh hubungannya yang bersifat formal dan ritual melainkan juga disebabkan oleh kepemimpinannya yang kharismatik.

3) Klasifikasi Pesantren

Pesantren-pesantren di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi (1) menurut sarana yang dimiliki, dan (2) sikap mereka terhadap tradisi.
Dari segi tinjauan yang pertama, pesantren dapat diklasifikasikan kepada berbagai macam jenis, tetapi setiap jenis tidak tergambar isi dan kegiatannya. Dari segi sikap terhadap tradisi, pesantren padat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu :
a. Pesantren Salafi, merupakan jenis pesantren yang etap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Dipesantren ini pengajarannya mata pelajaran umum tidak diberikan. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang dilakukan di lembaga-lembaga pengajian bentuk lama. Contohnya di pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri Jawa Timur serta pesantren Maslakul Huda di Kajen Pati Jawa Tengah.
b. Pesantren Khalafi, pesantren ini memberikan mata pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren. Walau demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih tetap dipertahankan. Pesantren Tebuireng, Tambak Beras dan Rejoso di Jombang Jawa Timur selain menyelenggarakan pendidikan madrasah, juma membuka sekolah-sekolah menengah umum seperti SMTP dam SMTA. Mereka juga memberikan pengajaran.
c. Pesantren Modern. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik tidak lagi diselenggarakan. Sekalipun bahasa Arab diajarkan, namun penguasaannya tidak diarahkan untuk memahami bahasa Arab dan Inggris cenderung ditunjukkan untuk kepentingan-kepentingan praktis. Contohnya Pesantren Gontor Ponorogo.

4) Sistem Pesantren
a) Tujuan Pesantren
Tujuan utama pendidikan pesantren tampaknya dirumuskan berdasarkan petunjuk al-Qur’an surat al-Taubah. Petunjuk tersebut menjelaskan adanya tiga ciri yang dimiliki setiap santri. Pertama, setiap santri harus belajar dan mampu mendalami ilmu agama (tafaqquh al-din). Kedua, setiap santri mampu memberikan peringatan kepada masyarakatnya (al-inzar) dan Ketiga, setiap santri mampu menjadikan diri dan masyarakatnya sebagai perisai terhadap hal-hal yang merusak agama (al-inzar).
Selanjutnya ada beberapa tujuan yang dirumuskan oleh kalangan pesantren diantaranya : tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya fikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusian, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama diatas etika-etika yang lain. Tujuan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.

b) Metode yang digunakan
Adapun metode-metode yang digunakan yaitu :
(1) Metode Serogan, yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kyai hanya menghadapi seseorang santri atau kelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadaan Kyai, kemudian kyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaannya sampai santri benar-benar dapat membaca dengan baik.
(2) Metode Wetonan dan Bandongan, yaitu metode mengajar dengan sistem ceramah. Kyai membacakan kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sudah shalat berjama’ah, Shubuh atau Isya. Di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah Bondongan. Dalam metode ini Kyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan Kyai sambil membuat catatan penjelas di pinggir kitabnya.
(3) Metode Musyawarah, yaitu belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran pelajaran santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan Kyainya. Kyai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya.

5) Unsur Pesantren
Adapun unsur-unsur dalam pesantren yaitu :
a) Pondok
Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan Kyai. Setiap pesantren memiliki kemampuan yang berbeda dalam membangun pondok yang sangat diperlukan para santrinya karena kebanyakan mereka datang dari tempat-tempat yang lain untuk menggali ilmu dari Kyai dan menetap disana dalam waktu lama. Jika dalam sebuah pesantren terdapat laki-laki dan perempuan, pondok mereka dipisahkan. Ada pondok khusus laki-laki dan ada pondok khusus perempuan. Tempatnya dibuat berjauhan dan biasanya kedua kelompok ini dipisahkan oleh rumah keluarga Kyai, masjid dan tempat ruang belajar.
b) Masjid
Dalam struktur pesantren masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren, karena ia merupakan tempat umum yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam mengajarkan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kegiatan kemasyarakatan. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat rumah kediaman Kyai dan berada ditengah-tengah komplek pesantren.
c) Kyai
Ciri yang paling esensial bagi suatu pesantren adalah adanya seorang Kyai. Kyai pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seorang yang mempunyai ilmu dan menguasai ilmu agama Islam. Keberadaan Kyai dalam pesantren sangat sentral sekali, karena ia sebagai penggerak dalam mengembangkan pesantren sesuai dengan pola yang ia kehendaki.
d) Santri
Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolak ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santri, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam yaitu santri Mugim dan santri Kalong. Santri Mugim adalah santri yang menuntut ilmu tinggal di dalam pondok yang disediankan di pesantren. Santri Kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren baik di rumah sendiri atau di rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi pesantren.

6) Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A. Steenbrink semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda. Berdasarkan wawancaranya dengan Kyai, dia mengkomplikasikan suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan Madura. Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren. Daftar tersebut meliputi kitab-kitab fiqh, baik fiqh secara umum fiqh ibadah, tata bahasa Arab, Ushuluddin, Tasawuf, dan Tafsir.
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, Karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. Pendekatan terhadap Al-Qur’an dan tidak terjadi secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab lain khususnya kitab fiqh.
Sekalipun pesantren mengutamakan pelajaran fiqh, namun mata pelajaran lainnya tidak diabaikan sama sekali. Dalam hal ini, mata pelajaran yang berkaitan dengan ilmu alat, pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. Pengajaran bahasa Arab tersebut terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk melakukan pengajian kitab. Dengan begitu, santri harus memiliki pengetahuan Bahasa Arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yag sebenarnya dilaksanakan.

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Jepang masuk ke Indonesia pada tanggal 11 Januari 1942 menduduki Tarakan, Kalimantan Timur, kemudian terus memasuki daerah-daerah lain di Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera dan daerah lain). Dan dalam tempo yang sangat singkat telah menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda.
Situasi dan keadaan pada waktu itu adalah berada dalam suasana perang dunia kedua, yang sudah tentu mendatangkan pengaruh yang tidak sedikit dalam berbagai aspek, termasuk diantaranya pendidikan.

A. KONDISI PENDIDIKAN MASA PENJAJAHAN JEPANG
Sistem pendidikan Belanda yang selama ini berkembang di Indonesia, semuanya diganti oleh bangsa Jepang sesuai dengan sistem pendidikan yang berorientasi kepada kepentingan perang. Tidak mengherankan bahwa segala komponen sistem pendidikannya ditujukan untuk kepentingan perang. Adapun karakteristik sistem pendidikan Jepang adalah sebagai berikut :

1. Dihapusnya “Dualisme Pendidikan”
Pada masa Belanda terdapat dua jenis pengajaran, yaitu pengajaran kolonial dan pengajarab Bumi Putra, oleh Jepang sistem seperti itu dihilangkan. Hanya satu jenis sekolah rendah saja yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu : Sekolah Rakyat 6 Tahun, yang ketika populer dengan nama “Kokumin Gakko”. Sekolah-sekolah desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama. Jenjang pengajaran pun menjadi :
a. Sekolah Rakyat 6 Tahun (termasuk sekolah Pertama)
b. Sekolah menengah 3 Tahun
c. Sekolah Menengah Tinggi 3 Tahun (SMA-nya pada zaman Jepang)

2. Berubahnya tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk menyediakan tenaga Cuma-Cuma (romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, murid-murid diharuskan latihan fisik, latihan kemiliteran dan indokritinasi ketat. Pada akhir zaman Jepang terdapat tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia. Maka dikerahkanlah barisan propaganda Jepang yang terkenal dengan nama “Sendenbu”, yang diberi tugas untuk menanamkan ideologi baru, ideologi itu harus menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

3. Proses pembelajaran diganti kegiatan yang tak ada kaitannya dengan pendidikan
Proses pembelajaran di sekolah diganti dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di sekolah antara lain :
a. Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang
b. Membersihkan bengkel-bengkel, asrama militer
c. Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran di pekarangan sekolah untuk persediaan makanan.
d. Menanam pohon jarak untuk pelumas.

4. Pendidik dilatih agar mempunyai semangat perang
Seorang pendidik sebelum mengajar diwajibkan terlebih dahulu mengikuti didikan dan latihan (diklat) dalam rangka penanaman ideologi dan semangat perang, yang pelaksanaannya diklat ini dipusatkan di Jakarta selama tiga bulan. Para guru yang sudah mengikuti diklat diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima itu kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang tersebut, kepada murid-murid diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran.

5. Pendidikan pada masa Jepang sangat memprihatinkan
Kondisi pendidikan bahkan lebih buruk dari pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Sebagai gambarannya dapat dilihat dari segi kuantitatif trend-nya mengalami kemunduran. Poesponegoro menguraikan tentang jumlah Sekolah Dasar dari 21.500 menurun menjadi 13.500 buah, Sekolah Lanjutan dari 850 buah menjadi 20 buah, Perguruan Tinggi terdiri dari 4 buah sama sekali dapat melakukan kegiatannya. Jumlah murid Sekolah Dasar merosot 30% murid, Sekolah Menengah menurun 90%. Guru sekolah dasar berkurang 35%, guru sekolah menengah yang aktif hanya sekitar 5% saja.
Di samping membuka sekolah-sekolah yang pernah di asuh oleh Belanda, Jepang juga mengizinkan untuk membuka sekolah-sekolah yang diasuh badan-badan swasta, termasuk diantaranya sekolah-sekolah Islam.

6. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada rakyat.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan disemua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang. Bahasa daerah diberikan kepada murid kelas 1 dan 2 sampai murid tersebut mengerti bahasa Indonesia. Murid diharuskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti) seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan asrama, memperbaiki jalan, dan lain-lain, Selain tiu diadakan latihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Murid-murid di gembleng agar memiliki semangat Jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang kimigayo serta melakukan penghormatan kearah istana kaisar di Tokyo dan bendera Jepang. Untuk guru-guru, disamping latihan juga kursus-kursus bahasa jepang. Dengan demikian, seolah-olah menjadi tempat pendidikan yang militeris dan tempat indoktrinasi untuk kemakmuran Asia Timur Raya, semuanya ditujukan untuk memenangkan perang melawan sekutu.

Pada masa awalnya pemerintah Jepang seakan-akan membela kepentingan islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, Pemerintah jepang membolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang. Jepang menempuh kebijaksanaan sebagai berikut.
1) Kantor urusan agama yang pada zaman Belanda disebut kantor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orientalis Belanda diubah menjadi Sumubu yang dipimpin ulama Islam sendiri, yaitu K.H. Hasyim Asyari dari Jombang dan didaerah-daerah disebut Sumuka.
2) Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang.
3) Sekolah-sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti/agama.
4) Membentuk barisan Hizbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran pemuda islam (santri-santri) dipimpin oleh K.H. Zainul Arifin.
5) Jepang mngizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K.H Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6) Ulama Islam bekerja sam dengan pemimpin nasionalis membentuk Barisan Pembela Tanah Air (PETA)
7) Umat islam mendirikan Majelis Syuro Muslimin Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
Maksud dari pemerintah jepang adalah agar kekuatan umat islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan memenangkan perang yang dipimpin Jepang.
Pada masa pemerintahan Jepang, sekolah dasar dijadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun. Sebenarnya Jepang mengadakan penyeragaman ini untuk memudahkan pengawasan, baik dalam isi maupun penyelenggaraannya. Ternyata kemudian menguntungkan bagi kita, terutama bila dilihat dari segi pendidikan itu sendiri, yaitu menghapuskan diskriminasi. Sistem pengajaran dan sistem kurikulum ditujukan untuk keperluan Asia Timur Raya.
Sekolah yang didirikan zaman belanda dibuka lagi, juga sekolah-sekolah swasta seperti sekolah agama islam (madrasah atau pesantren), Taman Siswa, sekolah Muhammadiyah, termasuk sekolah yang diasuh oleh badan-badan misi atau zending kristen, tetapi harus diselenggarakan langsungoleh pemerintah Jepang. Selain itu, Jepang juga memberi kesempatan bagi golongan Cina untuk membuka sekolah lagi sebagaimana zaman Belanda dulu, tetapi harus dibawah pengawasan Jepang.

Guru-guru yang dilatih dan diindoktrinasi dimulai bulan juni 1942 di Jakarta. Mata pelajaran meliputi pendidikan semangat, bahasa, adat istiadat, lagu-lagu jepang, olahraga, pendidikan tentang dasar-dasar pertahanan, dan sebagainya. Apabila telah selesai pulang ke daerahnya masing-masing untuk melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi alat propaganda Jepang. Kedudukan golongan pendidik pada masa Jepang mendapat tempat yang baik dalam lingkungan masyarakat.

Semua perguruan tinggi masa pemerintah militer jepang ditutup, walaupun kemudian ada beberapa yang dibuka, seperti Perguruan Tinggi Kedokteran (ika daigaku) di Jakarta tahun 1943 , Perguruan Tinggi Teknik di Bandung, Perguruan Pamongpraja di Jakarta, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor. Semuanya tetap dibawah pengawasan Jepang.

Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman militer Jepang umumnya mengalami kemunduran. Namun, masalah yang paling penting pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah nasionalisasi, bahasa pengantar, serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas berat dimasa mendatang.


B. KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP AGAMA ISLAM
Walaupun kondisi pendidikan pada masa Jepang demikian parahnya, namun bagi pendidikan Islam ada sedikit nilai positifnya.
Menurut Benda, secara umum pendidikan Islam di Indonesia terkait kepada dua hal, yaitu : Pertama terkait dengan kondisi dan situasi yang sangat berpengaruh sekali tentang pendidikan. Kedua, kebijakan Jepang terhadap Islam, sejauh yang diamati dalam lintasan sejarah Indonesia, ada dua hal pula yang perlu disentuh dalam hal ini, yaitu sikap dan pandangan Islam terhadap Jepang, dan sikap serta pandangan Jepang terhadap umat Islam di Indonesia. Yang pertama, pada masa awal masuknya Jepang ke Indonesia, umat Islam penuh harapan bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia yang menjadi harapan bagi setiap bangsa Indonesia dapat terwujud, dengan masuknya Jepang ke Indonesia dan terusirnya Belanda. Sebagai umat Islam, bangsa Indonesia yang selama ini merasakan adanya diskriminasi dalam soal kehidupan beragama, dengan masuknya Jepang ke Indonesia akan berakhir.

Secara umum, pendidikan Islam di Indonesia, terkait kepada dua hal, pertama terkait dengan kondisi dan situasi yang sangat mempengaruhi sekali tentang pendidikan. Kedua, kebijakan Jepang terhadap Islam, sejauh yang diamati dalam lintasan sejarah Indonesia, ada dua hal pula yang perlu disentuh dalam hal ini, yaitu sikap dan pandangan umat Islam terhadap Jepang, dan sikap serta pandangan Jepang terhadap umat Islam Indonesia, yang pertama, umat Islam pada masa awal masuknya Jepang ke Indonesia umat Islam penuh harapan bahwa cita-cita kemerdekaan Indonesia menjadi harapan setiap bangsa Indonesia dapat terwujud dengan masuknya Jepang ke Indonesia dan terusirnya Belanda. Sebagai umat Islam, bangsa Indonesia yang selama ini merasakan adanya diskriminasi dalam soal kehidupan beragama, dengan masuknya Jepang ke Indonesia akan berakhir.

Dari pihak Jepang sendiripun tidak kalah kepentingannya terhadap umat Islam Indonesia, sebab jumlah kekuatan umat Islam yang meyoritas di Indonesia dapat dijadikan modal dasar kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik, perang Asia Timur Raya. Karena itu Jepang selalu mengulang-ulang menyampaikan maksudnya menghormati dan menghargai Islam. Di depan ulama, Letnan Jenderal Imamura, pejabat militer Jepang yang tertinggi di Jawa menyampaikan pidato yang isinya bahwa pihak Jepang bertujuan untuk melindungi dan menghormati Islam.

Kebijakan Jepang secara umum tersebut tentu pula berpengaruh kepada kebijakannya dalam hal oendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini Benda mengulas tentang ini dengan mengungkapkan bahwa keruwetan dalam bidang administrasi dihapuskan demi kepentingan gerakan Islam di tahun 1944. Jepang menyadari bahwa mengatur sekolah swasta lebih sulit dari sekolah-sekolah negeri. Sebab bagi sekolah-sekolah negeri pemerintah Jepang dapat mengangkat kepala sekolah Jepang untuk mengayur sekolah-sekolah tersebut.
Kebijakan Jepang dalam pendidikan Islam ini adalah pada tingkat rendah Jepang merasa puas tidak mengawasinya secara langusng, berbeda dengan tingkat lanjutan sekolah guru dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk diawasi dan diatur oleh mereka sendiri. Di antara aturan-aturan yang ditegaskan oleh pemerintah Jepang dalam bidang pendidikan Islam adalah tahun 1943 melarang pengajaran agama yang tidak wajib di sekolah-sekolah lanjutan negeri. Selanjutnya di bulan yang sama didirikanlah organisasi yang benama Pergeboengan Goeroe Islam di Indonesia, sebuah organisasi guru Islam yang dibentuk oleh Pemerintahan Jepang.


BAB III
SIMPULAN

Pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.

Pada masa jepang tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.











DAFTAR PUSTAKA

S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia. 1987. Bandung : Jemmers.
Ramayulis. Dasar-dasar Kependidikan 2009. Padang : The Zaki Press
Suratman, Ki. Perjalan Sekolah Taman Siswa. 1983. Prisma. no. 9
Noer, Deliar. Islam dan Politik di Indonesia. 1979. Prisma, No. 8.
Steenbrink, Kareel A. Pesantren, Madrasah, dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,. 1986. Jakarta : LP3S.
Rahardjo, M. Darwan. Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah. 1985. Jakarta : P3M.
Yunus, mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. 1996. Jakarta : Hidakarya Agung.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. 1982. Jakarta : LP3S.
Hasbullah. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan sejarah, pertumbuhan dan perkembangan. 2001. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada cet 4.
Soemanto, Wasty. Landasan historis pendidikan Indonesia. Surabaya : Usaha Nasional.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. 2010. Jakarta : Rajawali Pers.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. 2005. Ciputat : Rajawali Pers.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam di Indonesia. 2001. Bandung : Citapustaka Media.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar